Showing posts with label KEBUDAYAAN. Show all posts
Showing posts with label KEBUDAYAAN. Show all posts

B.    Neo Evolusi
Gagasan dari neo evolusi hampir sama dengan teori modernisasi. Neo evolusi menggunakan konteks histori dalam membedah masyarakat tradisional dan modern, teori ini menyatakan masyarakat modern lambat laun akan terjadi dari tahap tradisional melalui proses diferensisasi sosial. Misalnya dalam masyarakat tradisional fungsi ekonomi, politik, dan pendidikan dijalankan dibawah satu intstitusi saja, sedangkan dalam masyarakat modern antara struktur  sosial dan organisasi harus dipisahkan untuk menjalankan fungsi politik, ekonomi, dan pendidikan. Secara singkatnya, masyarakat mengubah struktur masyarakat sederhana menjadi lebih kompleks dengan adanya stratifikasi kerja. Disebut neo evolusionisme dikarenakan teori ini menentang pandangan teori evolusionisme yang menyatakan bahwa masyarakat tradisional akan berkembang dengan satu arah (unilinear) menuju masyarakat modern. Para ahli neo evolusionisme beranggapan banyak jalur yang dapat ditempuh untuk menuju masyarakat modern seperti jalan kapitalis melalui demokrasi plural yang terjadi di Amerika Serikat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an teori-teori fungsionalis seperti modernisasi dan neo evolusionisme sangat dominan.
Evolusi harus dikaji secara ilmiah ketimbang secara spekulatif dengan memperhatikan semua kritik terhadap evolusionisme klasik dan semua temuan sosial terbaru, termasuk temuan sosiologi sendiri. Keyakinan ini membuat neo evolusionisme meninggalkan evolusionisme. Pergeserannya adalah sebagai berikut:
1.    Pusat perhatian bergeser dari evolusi masyarakat global sebagai satu kesatuan ke proses yang muncul dalam kesatuan sosial yang lebih terbatas seperti peradaban, kultur kesatuan masyarakat yang terpisah seperti suku, Negara, bangsa, dan sebagainya.
2.     Sasaran perhatian utama adalah mekanisme penyebab evolusi ketimbang rentetan tahap perkembangan yang mesti dilalui. Dengan kata lain, yang hendak di cari adalah “penjelasan”, bukan skema tipologi.
3.   Analisis evolusi dirumuskan secara deskriptif, kategoris menghindarkan penilaian dan isyarat tentang kemajuan. “Bagi teoritisi neo evolusionisme, evolusi sosio-kultural berarti jauh lebih terbatas, tak mengandung pertimbangan moral”.
4.      Proporsi diungkap dalam peluang ketimbang secara pasti.
5.    Terjadi penggabungan bertahap gagasan dari cabang evolusionisme lain seperti evolusionisme biologis yang telah berkembang luas dan bebas yang menghasilkan banyak temuan dalam ilmu biologi.

Aliran Evolusi
Terdapat empat aliran mengenai evolusi yaitu :

1. Evolusi Unilinear

Aliran ini mengemukakan bahwa kebudayaan akan berkembang melalui tahap-tahap tertentu, bermula dari yang sederhana, kemudian bentuk yang kompleks, dan akhirnya pada bentuk sempurna. Perkembangan ini dilalui dan seharusnya dilalui oleh semua kebudayaan di dunia. Dengan demikian, evolusi kebudayaan ini seolah-olah melewati satu garis evolusi yang sama, maka proses evolusi ini disebut dengan istilah unilinier (Uni berarti satu linier berarti garis). Contohnya evolusi hukum menurut Herbert Spencer, yaitu (1) Hukum keramat; (2) Hukum sekuler; (3) Hukum kerajaan; dan (4) Hukum berdasarkan azas saling membutuhkan.

2. Evolusi Universal

Teori ini menyatakan bahwa evolusi kebudayaan yang merupakan kebudayaan umat manusia sebagai totalitas atau universal. Penganut aliran evolusi ini berfokus pada kebudayaan material dan berpendapat bahwa kebudayaan umat manusia sebagai satu kesatuan (culture as a whole) berkembang maju.

Menurut Lislie A. White (1949), setiap kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sostem thermodinamis, yaitu sistem yang melakukan transformasi energi. Dengan energi sebagai tolok ukur, maka tingkat evolusi kebudayaan dapat ditentukan secara kuantitatif. Ukuran ini juga bersifat universal, sehingga dapat dikatakan obyektif. Dengan kriteria energi White kemudian White melontarkan sebuah hukum evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. C adalah Culture, E adalah Energy dan T adalah Technology. Artinya, evolusi kebudayaan merupakan perubahan sebuah sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi (1949: 368). Karena White berbicara tentang kebudayaan dalam arti umum dan kriteria yang digunakannya dapat digunakannya dapat digunakan secara universal.

3. Evolusi Multilinear

Teori ini lebih menekankan pada evolusi aneka warna kebudayaan-kebudayaan khusus yang berlangsung sendiri-sendiri, tetapi ada unsur-unsur persamaan tertentu dalam proses evolusi yang berwarna itu. Proses evolusi yang berbeda-beda dan adanya unsur-unsur yang sama itu disebabkan karena kondisi tertentu yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan.

Great Basin Indians
Menurut Julian J. Steward, berdasarkan hasil penelitiannya di satu suku bangsa Indian di Amerika Serikat, Indian Shoshone di kawasan Great basin (1937). Ternyata kebudayaan Indian ini tidak mengalami evolusi, karena telah sesuai (adaptif) dengan lingkungan alamnya. Oleh karena itu, Steward berpendapat bahwa evolusi kebudayaan mempunyai cultural core, yang terdiri dari teknologi dan organisasi kerja. Cultural core atau inti budaya inilah yang menentukan corak adaptasi kebudayaan terhadap lingkungannya (1955). Dengan kata lain, interaksi antara inti kebudayaan dan lingkunganlah yang menentukan arah evolusi dan corak suatu kebudayaan.

4. Evolusi Diferensial

Aliran ini mengemukakan bahwa bahwa semua masyarakat dan juga semua unsur-unsur kebudayaan yang ada pada masyarakat itu mempunyai perkembangan sendiri-sendiri dan akan mencapai suatu tingkat yang berbeda-beda pula sehingga akan dapat dijumpai perbedaan yang mencolok antar masyarakat.

Tari Perang dari Flores
Misalnya pada masyarakat Jawa, unsur kebudayaan kesenian mempunyai perkembangan yang berbeda dengan sistem organisasi sosialnya dan masing-masing unsur budaya tersebut mempunyai perkembangan sendiri-sendiri dan apabila dibandingkan dengan masyarakat Flores maka unsur kebudayaan tersebut telah berkembang dengan cara yang berbeda pula serta mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda.
A.    Evolusi Klasik
Prancis bisa merasa bangga bahwa telah melahirkan anak bangsa seperti Auguste Comte (1798-1857) yang kemudian dikenal sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang masyarakat. Pemikiran Comte tentang perubahan masyarakat tersebut tertuang dalam teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tahap (law of the three stages). Teorinya mengungkapkan bahwa masyarakat mengalami perubahan melalui tiga tahap intelektual. Bahkan menurut Comte, tidak saja masyarakat yang mengalami perubahan melalui tiga tahap intelektual, tetapi juga pada tingkat individu, kelompok, komunitas, dan ilmu pengetahuan. Tahapan tersebut diawali dengan tahap teologis (theologiacl stage), tahap metafisik (metaphysical stage), kemudian tahap positivistik (positivistic stage).  
Sejalan dengan itu, Herbert Spancer (1820- 1903) mengemukakan bahwa evolusi sosial dapat dianalogikan seperti halnya makhluk hidup yang melakukan evolusi menuju tingkat yang lebih tinggi, selalu beradaptasi dengan lingkungan yaitu melalui tahap seleksi alam. Teorinya dikenal juga dengan teori Darwinisme sosial.
Evolusi Sosial Budaya menunjukkan suatu perkembangan kebudayaan dan masyarakat dari tingkat yang sederhana menuju tingkat yang kompleks dan tingkat-tingkat yang tetapi ini dilalui atau seharusnya dilalui oleh semua kebudayaan di dunia seperti dalam evolusi biologi dimana makhluk yang bisa bertahan hidup adalah makhluk yang paling cocok dengan lingkungan alamnya.
Evolusi kebudayaan (cultural evolution) menurut Koentjaraningrat (2002: 227) adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks. Dalam proses evolusi kebudayaan dapat dianalisis secara mikro (microscopic) maupun makro (macroscopic). Proses kebudayaan yang dianalisis secara mikro (mendetail) dapat memberi gambaran mengenai berbagai proses perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secaara macro adalah proses yang terjadi dalam waktu yang panjang. Di dalam ilmu antropologi proses ini hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang terjadi.
Cara pandang evolusionisme yaitu mendeskripsikan unsur-unsur budaya universal dan pola perubahan yang teramati melalui mekanisme perbandingan kebudayaan yang hidup dan berkembang dalam entitas budaya. Untuk dapat melihat pola perubahan budaya dapat melalui metode komparasi (perbandingan), yaitu metode komparasi-sinkronik dan metode komparasi-diakronik.

Rumah Adat Batak Toba
Metode komparasi-sinkronik, peneliti meneliti dua entitas budaya yang berbeda dari satu komunitas yang sama dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh E.M. Burner pada tahun 1958 terhadap kebudayaan Batak Toba pada masyarakat desa dan kota Medan. Hasilnya mayarakat desa dan kota sama-sama kuat memegang tradisi Batak ketika berhadapan dengan budaya lain di kota.
Masyarakat Tikopea Polinesia
Metode komparasi-diakronik, peneliti meneliti suatu kebudayaan dari entitas masyarakat tertentu pada satu waktu lalu dikaji lagi pada beberapa saat kemudian pada entitas yang sama. Seperti penelitian R.Firth pada komunitas Pulau Tikopea Polinesia pada tahun 1929, lalu dilakukan lagi 25 tahun kemudian. Hasilnya ada perubahan signifikan dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan modern. 

Kebudayaan itu telah mengalami proses perkembangan secara bertahap dan berkeseimbangan yang kita konsepkan sebagai evolusi kebudayaan. Evolusi kebudayan ini berlangsung sesuai dengan perkembangan budidaya atau akal pikiran dalam menghadapi tantangan hidup dari waktu atau ke waktu.
Evolusi adalah perkembangan berangsur-angsur secara lambat dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih maju dalam waktu yang relatif lama. Suatu teori/pandangan bahwa segala jenis makhluk hidup yang sekarang ada adalah hasil perkembangan berangsur-angsur dari masa  lampau. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Teori Evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, logika atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan. Rekontruksi memberikan pemahaman tentang sejarah masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi masa depan. Obyek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan manusia.
Kebudayaan dalam perspektif teori Evolusionisme terbagi dalam tiga konsepsi: (1) Kebudayaan sebagai sebuah sistem (cultural system), (2) Kebudayaan sebagai sistem sosial, dan (3) Kebudayaan sebagai hasil tingkah laku manusia (material culture).

Industrial Revolution


Pendahuluan
Apakah yang dimaksud dengan teori ? Teori adalah suatu pernyataan, pendapat atau pandangan tentang hakekat (the nature) atau ciri dan keadaan dari suatu kenyataan atau suatu fakta. Kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu.
Konsep kebudayaan sebagai salah satu konstruksi teoritis utama dalam penelitian sosial. Mulai dari definisi kebudayaan yang “klasik” seperti yang berasal dari Tylor, yang melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hukum, moralitas dan adat istiadat,” hingga pendekatan interpretatif Clifford Geertz yang mencoba mempertajam pengertian kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis . . . . dengan bantuan mana manusia mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup” (1973: 89), teori-teori kebudayaan telah memberi berbagai sumbangsih bagi pemahaman kehidupan sosial.
Berdasarkan cakupannya (scope), teori-teori ini dapat dibagi menjadi tiga: yaitu, (1) teori-teori besar (grand theories), (2) teori-teori menengah (middle range theories), dan teori-teori kecil (small theories).

1.      Grand theories adalah data yang kita analisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya tertentu di semua masyarakat atau kebudayaan yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu sehingga teori-teori semacam ini biasanya sangat abstrak. Teori-teori besar dalam ilmu sosial-budaya umumnya merupakan teori-teori mengenai “hakekat” dari kenyataan atau suatu gejala sosial-budaya tertentu, seperti misalnya teori tentang “masyarakat” dari Emile Durkheim, teori tentang “tindakan sosial” dari Talcott Parsons, teori kebudayaan dari E.B.Tylor, teori ke-pribadian dari Sigmund Freud, teori “masyarakat” dari Max Weber, teori tentang “mitos” dari Lévi-Strauss, dan sebagainya
2.      Middle range theories diangap dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya pada sejumlah masyarakat yang relatif sejenis. Teori-teori ini lebih sempit cakupannya daripada teori-teori yang besar, namun di lain pihak juga terasa lebih kongkrit. Misal: teori kebudayaan petani, teori jaringan sosial.
3.  Small theories lebih sempit lagi cakupannya, namun juga paling jelas keterkaitannya dengan realitas empiris. Teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti
Perbedaan antara teori-teori yang besar dan yang menengah atau kecil di sini umumnya adalah pada cakupan dari teori-teori tersebut, dan ini biasanya terlihat dari banyak sedikitnya data empiris yang digunakan untuk mendukung atau menguatkan teori yang dikemukakan.
Setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar --dalam arti menggunakan konsep-konsep yang jelas, metode yang tepat, analisis yang tepat-- pada dasarnya pasti akan menghasilkan suatu kesimpulan tertentu mengenai suatu kenyataan empiris lewat proses berfikir induktif dan deduktif (Toetik Koesbardiati & Tri Joko Sri Haryono, 2007). Sebuah tesis master yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar juga akan dapat menghasilkan teori tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan teori tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cakupan dari teori yang ada dalam sebuah disertasi. Setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat menghasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada atau menumbangkan dasar teori lama.


Fungsi teori
  1. Menyimpulkan generalisasi dari fakta-fakta hasil penelitian
  2. Memberikan kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian
  3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi
  4. Mengisi kekosongan dalam ilmu pengetahuan tentang gejala yang telah atau sedang terjadi

 Unsur-unsur pokok teori:
  1. Asumsi-asumsi dasar
  2. Model-model
  3. Konsep-konsep
  4. Metode-metode penelitian
  5. Metode-metode analisis
  6. Hasil-hasil analisis
  7. Masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan


Referensi
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Toetik Koesbardiati & Tri Joko Sri Haryono. 2007. Teori-Teori Kebudayaan
Unsur-Unsur Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (2002: 203), dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam unsur-unsur besar yang disebut unsur-unsur kebudayaan universal. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2002: 203-204), menemukan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu:
1.      Bahasa
2.      Sistem pengetahuan
3.      Organisasi sosial
4.      Sistem peralatan hidup dan teknologi
5.      Sistem mata pencaharian hidup
6.      Sistem religi
7.      Kesenian
Masing-masing unsur kebudayaan universal ini pasti menjelma dalam ketiga wujud budaya tersebut di atas, yaitu wujud sistem budaya, sistem sosial, dan unsur budaya fisik.
Dengan demikian sistem ekonomi misalnya, mempunyai wujud sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga mempunyai wujud berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen, pedagang dan konsumen. Selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan dan benda-benda ekonomi. Demikian pula sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa, dan roh halus, tetapi mempunyai wujud sebagai benda-benda religius.
Perlu dimengerti bahwa unsur-unsur kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak berdiri sendiri lepas dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan bukan juga sekedar merupakan jumlah dari unsur-unsurnya saja, melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan erat (terintegrasi), yang membentuk kesatuan yang harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbal balik. Apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan perubahan pada unsur yang lain pula (Joko Tri Prasetya, dkk., 1991: 33-34).

Contoh
Upacara Adat Seren Taun di Komplek Paseban, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

Modernisasi di bidang pertanian dengan penggunaan alat-alat mesin (mekanisasi), akan membawa perubahan dalam masyarakat desa. Alat mesin pertanian akan mengganti peranan hewan lembu dan alat-alat tradisional seperti bajak, pacul, sabit. Disamping itu juga bisa menghambat sikap gotong-royong dan menghilangkan berbagai macam upacara tradisional, misalnya sedekah bumi kepada Dewi Sri Pohaci (Dewi Padi), ruwatan (bersih desa), slametan (selamatan), dan sebagainya. Perubahan tenaga ini, dapat meningkatkan pengangguran dan kerawanan sosial.


Referensi :
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Helius Syamsudin. 1986. Sejarah Dunia. Jakarta: UT.
Joko Tri Prasetya, dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Wikipedia. Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses 2 Februari 2014.

Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora (dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006: 25), yaitu :
a.       Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
b.      Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
c.       Lembaga sosial
Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier.
d.      Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
e.       Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah-buahan, sebagai simbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
f.       Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.


Wujud Kebudayaan
  Ahli sosiologi Talcott Parsons dan ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya sebagai rangkaian tindakan serta aktivitas manusia yang berpula. Oleh karena itu, J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959: 11-12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas[1], (2) activities[2], dan (3) artifacts[3]. Sedangkan, Koentjaraningrat menguraikan tentang wujud kebudayaan menjadi tiga macam, yaitu:
  1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya;
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat;
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Letaknya dalam alam pikiran manusia. Sekarang kebudayaan ideal ini banyak tersimpan dalam arsip, koleksi micro film, hardisk komputer, dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan manusia ini banyak yang hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, disebut sistem budaya atau cultural system atau adat istiadat.
Wujud kedua adalah yang disebut sistem sosial atau social system, yaitu mengenai tindakan bberpola manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan lainnya dari waktu-ke waktu, yang selalu menurut pola tertentu. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa di observasi, difoto dan didokumentasikan.
Wujud ketiga adalah yang disebut kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bisa diraba, difoto dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut diatas dalam kehiduan masyatakat tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan mengarahkan tindakan manusia baik gagasan, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan secara fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan alamnya sehingga bisa mempengaruhi pola berpikir dan berbuatnya (Koentjaraningrat, 2002: 186-188).




[1] Ideas atau gagasan yaitu wujud kebudayaan yang berupa gagasan, ide, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, disentuh dan bukan barang yang nyata. Jika gagasan ini dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan tersebut berada dalam karangan-karangan atau tulisan-tulisan. Misalnya: kitab kuno, prasati dan lain sebagainya.
[2] Activities atau aktivitas yaitu tindakan atau aktivitas manusia yang berasal dari pemikiran kebudayaan. Wujud kedua ini sering disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering berinteraksi. Sifatnya nyata, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya: sistem adat, sitem kemasyarakatan dan lain sebagainya.
[3] Artifacts atau artefak yaitu wujud fisik berupa hasil aktivitas atau karya manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, didokumentasikan serta sifatnya wujud konkret. Misalnya: Patung, bangunan dan lain sebagainya.
Pengertian Kebudayaan
Dalam pemakaian sebagian besar masyarakat sehari-hari arti kebudayaan seringkali terbatas pada sesuatu yang indah-indah, seperti candi, tari, seni rupa, seni suara, sastra, dan filsafat. Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Sir Edward Burnett Tylor kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Bila dinyatakan lebih sederhana kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan didalami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.
Pada tahun 1950, A.L. Kroeer dan Clyde Kluckhon telah berhasil mengumpulkan lebih dari seratus definisi (176 definisi) yang diterbitkan dalam buku mereka yang berjudul Culture: A Critical Review Of Concept And Definitions (1952). Dari pencariannya itu mereka menemukan bahwa semua definisi yang baru cenderung mengadakan perbedaan yang jelas antara perilaku yang nyata di satu pihak, dan di pihak lain berupa nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi tentang alam semesta yang letaknya tidak dapat terlihat. Dengan demikian kebudayaan juga menyangkut perilaku yang tidak kelihatan, yang merupakan nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku yang terlihat.
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau kekal (Koentjaraningrat, 2002: 180). Sedangkan menurut Bakker, kata kebudayaan dari Abhyudaya (bahasa Sansekerta) yang berarti hasil baik, kemajuan, kemakmuran serba lengkap. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, dan berhubungan dengan tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam (Koentjaraningrat, 2002: 182).

Food Producing

Pendahuluan
Ada dua istilah yang sering kali dipertukarkan pengertiannya karena seringkali kabur yaitu peradaban (civilization) dan kebudayaan (culture). Dalam bahasa Inggris, istilah culture berasal dari bahasa Latin cultura. Ternyata istilah culture ini lebih umum dipakai oleh para ahli antropologi karena pengertian civilization dianggap kabur, meskipun penggunaanya lebih tua dari pada culture. Tetapi para sejarawan dan ahli antropologi tidak perlu mempertentangkan benar kedua istilah ini. Pengertian culture itu lebih terbatas dalam spasial (ruang tempat) dan temporal (ruang waktu) dari pada civilization. Sehubungan dengan ini, maka kita dapat membicarakan tentang kebudayaan Arya pada masa Weda dan peradaban India kuno yang luas.

Krisna

Sebenarnya, istilah peradaban dapat didefinisikan sebagai kebudayaan menyeluruh (total culture) dari suatu bangsa atau periode. Yang dimaksud dengan total culture disini yaitu keseluruhan (totalitas) pengalaman kemanusiaan (mankind) di muka bumi ini. Ini dengan segala perubahan (change) dan kesinambungan (continuity) pada poros waktu (time axis) yang masih terus berjalan (Helius Syamsudin, 1986: 1.1). Sedangkan, Beals dan Hoiyer, mengatakan bahwa peradaban (civilization) sama dengan kebudayaan (culture) apabila dipandang dari segi kualitasnya, tetapi berbeda dalam kuantitas, isi, dan kompleks pola-polanya.

Koentjaraningrat, menyatakan masalah kebudayaan dan peradaban hanya  soal istilah saja. Istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Tetapi pada sisi lain, istilah peradaban juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, ilmu pengetahuan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 2002: 182).