Stonehenge, English Heritage
Prehistory

Who are we? Where do we come from? Where are we going? These are three of the most universal questions. They are about time and the nature of the human condition.

Siapakah kita? Dari mana kita berasal? Dimana kita akan pergi? Ini adalah tiga pertanyaan yang paling umum. Yaitu tentang waktu dan kondisi dari sifat manusia.

Works of art help us to answer these questions. We will begin our exploration of the arts by going back in time to early periods of human history, before the existence of written documents, which we call prehistory. But the term prehistory is a misnomer because objects and images are actually historical records. The challenge lies in discovering how to read them.

Karya seni membantu kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kita akan mulai dari eksplorasi seni dengan kembali pada waktu periode awal sejarah manusia, sebelum adanya dokumen tertulis, yang kita sebut prasejarah. Tapi prasejarah menjadi sebuah ironi karena kurangnya pemahaman objek dan gambar mengenai catatan sejarah. Tantangannya terletak pada menemukan cara untuk membacanya.

The appearance of anatomically modern humans in Europe about 35,000 bce was accompanied by major changes in culture and technology. There was a further period of significant change after the last major Pleistocene glaciation (the Pleistocene Epoch occurred from about 2,600,000 to 11,700 years ago), which included the widespread adoption of farming and the establishment of permanent settlements from the 7th millennium bce. These laid the foundation for all future developments of European civilization (Jacques Barzun, 2013)[1].

Munculnya manusia modern secara anatomis di Eropa sekitar 35.000 SM bersamaan dengan perubahan besar dalam budaya dan teknologi. Ada jangka waktu perubahan signifikan setelah akhir masa Pleistosin (Pleistocene Epoch terjadi dari sekitar 2.600.000 sampai 11.700 tahun yang lalu), yang termasuk adopsi pertanian dan pembentukan pemukiman permanen dari milenium ke-7 SM. Ini menjadi dasar semua perkembangan masa depan peradaban Eropa (Jacques Barzun, 2013).

The Stone Age


Stone Age Scene With Hunters - Illustrations
To organize the vast time span of prehistory, scholars divide the Stone Age in Europe into three periods. Paleolithic (from the Greek palaios, meaning “old,” and lithos, meaning “stone”) is the earliest and the longest. It lasted from c. 1,500,000 B.C. to c. 8000 B.C. The Mesolithic (“middle stone”) period extended from around 8000 to 6000 B.C. in southeastern Europe and c. 8000 to c. 4000 B.C. in the rest of Europe. The Neolithic (“new stone”) period dates from c. 6000/4000 B.C. to c. 2000 B.C. and continued for another thousand years in Europe. The designation of these periods as Stone Age derives from the use of stone tools and weapons. As technology developed, metal would eventually replace stone for many purposes. Then, as now, technological and social change went hand in hand, bringing the Stone Age to a gradual close.

Untuk mengatur rentang waktu prasejarah yang panjang, sejarawan membagi Zaman Batu di Eropa menjadi tiga periode. Paleolithikum (dari kata palaios bahasa Yunani, yang berarti "tua," dan lithos, yang berarti "batu") adalah masa paling awal dan terlama. Paleolithikum berlangsung dari 1.500.000 SM - 8000 SM. Mesolithikum ("Batu tengah") periode diperpanjang dari sekitar 8000 sampai 6000 SM di Eropa Tenggara dan c. 8000 sampai 4000 SM di seluruh Eropa. Neolithikum ("Batu Baru") periode berasal dari 6000/4000 SM 2000 SM dan berlangsung selama seribu tahun di Eropa. Penunjukan periode Zaman Batu ini bersumber dari penggunaan alat-alat dan senjata yang terbuat dari batu. Perkembangan teknologi, pada akhirnya logam menggantikan batu untuk berbagai tujuan. Lalu, seperti sekarang, teknologi dan perubahan sosial beriringan, membawa Zaman Batu ke tahap berikutnya.

Paleolithic (c. 1,500,000–c. 8000 B.C.)

By around 50,000 B.C. in Europe, our own subspecies, Homo sapiens sapiens (literally “wise wise man”), had supplanted Homo sapiens, who had developed complex cultures. We can gain some understanding of Paleolithic society by interpreting the physical record. But becauseideas cannot be fossilized, there is much that will never be known.

Sekitar 50.000 SM di Eropa, subspesies kita sendiri, Homo sapiens sapiens (yaitu "orang bijak bijaksana"), telah digantikan Homo sapiens, yang telah mengembangkan budaya yang kompleks. Kita bisa mendapatkan beberapa pemahaman masyarakat Paleolithikum dengan menafsirkan catatan fisik. Tapi karena pemikiran tidak dapat membatu, ada banyak hal yang tidak akan pernah diketahui.

Inferences about Paleolithic religion have been drawn from ritual burial practices. Red ocher—possibly symbolizing blood—was sprinkled on corpses, and objects of personal adornment (such as necklaces) were buried with them. Bodies were arranged in the fetal position, often oriented toward the rising sun, which must have seemed reborn with each new day. Such practices suggest belief in life after death and offer some insight into the way Paleolithic people answered the third question posed at the start of this chapter: Where are we going?

Kesimpulan tentang kepercayaan masa Paleolithikum mengenai ritual penguburan. Red ocher -mungkin melambangkan darah- memercik ke mayat, dan barang miliknya perhiasan (seperti kalung) dikuburkan dengan mayatnya. Mayat diatur dalam posisi janin, sering berorientasi pada matahari terbit, harus tampak terlahir kembali di setiap hari baru. Praktek-praktek seperti ini menunjukkan keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian dan memberikan jawaban tentang cara orang Paleolithikum menjawab Pertanyaan ketiga yang diajukan pada awal bab ini: Kemana kita akan pergi?

Fire 
Paleolithic people were nomadic hunters and gatherers, who lived communally. They built shelters at cave entrances, under rocky overhangs. Their tents were made of animal skins and their huts of mud, plant fibers, stone, and bone. Fire had been in use for some 600,000 years, and there is evidence of hearths in Paleolithic homes.

Orang Paleolithik adalah pemburu dan pengumpul nomaden, yang hidup secara komunal. Mereka membangun tempat penampungan di pintu masuk gua, di bawah overhang berbatu. Tenda mereka dibuat dari kulit binatang dan gubuk-gubuk mereka terdiri dari lumpur, serat tanaman, batu, dan tulang. Api telah digunakan sekitar 600.000 tahun, dengan bukti dari tungku di rumah Paleolitik.

Although the invention of writing was still far off, people made symbolic marks on hard surfaces, such as bone and stone, possibly to keep track of time. The sophistication of Paleolithic art suggests that language —the ability to communicate with words and tell stories— had also been developed, and language in itself requires a sense of sequence and time.

Meskipun penemuan tulisan itu masih jauh, orang membuat tanda simbolis pada permukaan keras, seperti tulang dan batu, mungkin untuk melacak waktu. Kecanggihan seni Paleolitik menunjukkan bahwa bahasa -kemampuan untuk berkomunikasi dengan kata-kata dan cerita- juga telah dikembangkan, dan bahasa itu sendiri membutuhkan selera urutan jenis dan waktu.

The earliest surviving works of Western art correspond roughly to the final stages of the Ice Age in Europe and date back to about 30,000 B.C. Before that time, objects were made primarily for utilitarian purposes, although many have aesthetic qualities. It is important to remember, however, that our modern Western concept of “art” would almost certainly have been alien in the Stone Age, when an object’s aesthetic value was inseparable from its function.

Karya-karya yang masih bertahan paling awal seni Barat sesuai kira-kira pada akhir Zaman Es di Eropa yaitu sekitar 30.000 SM. Sebelum waktu itu, benda-benda yang dibuat terutama untuk suatu tujuan, juga banyak memiliki kualitas keindahan. Hal ini penting untuk diingat, bagaimanapun, bahwa konsep modern Barat mengenai "seni" akan hampir pasti hasil alien di Zaman Batu, ketika nilai keindahan suatu objek tidak dapat dipisahkan dari fungsinya.





[1] Jacques Barzun. 2013. History of Europe. http://www.britannica.com/, diakses 10 Januari 2014. 
Kreta Kuno
Masyarakat Yunani kuno memiliki sejumlah legenda mengenai Kreta. Yang paling terkenal menceritakan raja Kreta bernama Minos mengenai hewan peliharaanya Minotaur (manusia berkepala kerbau) yang ditempakan di labirin pulau itu. Arsitek bangunan labirin ini, Daedallus. Setelah mengalahkan Athena dalam perang, Raja Minos memutuskan bahwa setiap tujuh tahun, tujuh anak laki-laki dan tujuh perempuan Athena akan dikirim ke labirin untuk dikorbankan untuk dimakan Minotaur. Pada putaran ketiga siklus pengorbanan ini, Theseus (Raja masa depan Athena) mengajukan diri untuk pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur. Theseus dibantu oleh Ariadne (putri Raja Minos), yang memberinya bola benang (sebagai pedoman) untuk menemukan jalan keluar dari labirin. Ariadne juga memberikan pedang, dan petunjuknya adalah untuk selalu berjalan maju, turun, dan tidak pernah ke arah kiri atau kanan. Ketika, Theseus berjalan ke pusat labirin, dia tersandung batu dan membangkitkan Minotaur dari tidurnya, dan mulailah pertempuran berdarah. Di mana ia akhirnya menang dengan menggorok tenggorokan binatang itu. Ada beragam legenda tentang Raja Minos, dan masyarakat Yunani kuno memutuskan bahwa mereka semua tidak bisa menunjuk pada orang yang sama, sehingga mereka berasumsi bahwa ada banyak raja bernama Minos yang telah memerintah Kreta.

Lukisan dinding "Lompat Banteng", ditemukan di situs Knossus, menunjukkan bahwa terdapat suatu olah raga atau ritual keagamaan melompati seekor banteng, figur manusia berkulit gelap adalah lelaki, sedangkan yang berkulit terang adalah perempuan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Minoa)
Selain mitos-mitos kuno ini, bagaimanapun peradaban Minoa telah lama dilupakan, sampai arkeolog Inggris Sir Arthur Evans menemukan kembali pada dekade pertama abad kedua puluh. Evans menemukan reruntuhan istana Knossos setelah ia membeli reruntuhan dan menyewa sebuah tim untuk menggali. Evans pada awalnya percaya bahwa ini adalah istana mitologis raja Minos, tetapi pada kenyataannya terdapat struktur yang kompleks terdiri dari pusat-pusat pemerintahan, kuil, kamar kerja, dan fasilitas penyimpanan.

Vas dengan motif gurita yang khas, 1500 SM
(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Minoa)
Masyarakat Pulau Kreta nampaknya meniru cara-cara yang dipakai orang-orang Mesir. Mereka menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Karya-karya tersebut berupa tembikar/porselin/gerabah untuk menyimpan minyak zaitun. Seni lukis fresko (lukisan cat air) berupa raja, pahlawan perang pada dinding istana Knossus. Seni pahat pada gading atau media lain dan seni kerajinan logam. Karya seni ini juga menghasilkan peralatan rumah tangga, misalnya alat pertukangan, sepatu, pengecoran logam, dll. Mereka juga membuat patung-patung kecil yang indah sekali dengan bentuknya seperti Dewi Ular yang dadanya telanjang yang nampaknya merupakan salah satu obyek untuk pemujaan.

"Dewi Ular" atau pendeta wanita tengah melakukan ritual.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Minoa)
Peradaban Kreta yang kaya dan mewah itu akhirnya pada abad ke-14 SM, dihancurkan oleh suku-suku bangsa barbar yang berasal dari Eropa bagian tengah dan timur. Suku-suku ini dikenal dengan bangsa Hellena yang kelak membentuk bangsa Yunani. Para penyerbu ini telah menggunakan senjata-senjata dari besi.


Benih-benih peradaban Yunani berasal dari Kreta ini. Pada masa-masa akhirnya, kebudayaan Minoa meluas ke pulau-pulau Laut Aegea. Kebudayaan yang menyebar ini dikenal pula dengan sebutan “Mysenean” yaitu menurut nama tempat di daratan Yunani Mysene. Lalu, karena letak Kreta tidak saja dekat dengan Yunani tetapi juga Mesir, maka peradaban Kreta ini menjadi suatu mata rantai penghubung antara Mesir kuno dan Yunani klasik.

Lambang yang tidak diketahui maknanya pada Cakram Phaistos
(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Minoa)
Bangsa Kreta mengenal tulisan tetapi sampai sekarang belum berhasil dibaca. Hanya dari peninggalan puing-puing bangunan dan benda-benda lain, kita mendapat gambaran umum tentang kehidupan orang-orang Kreta. Dari penggalian arkeologi istana di Knossus, tampak  bahwa interior istana tersebut dihias indah, yang menunjukkan cita rasa seni yang tinggi dan halus dari para pembuatnya. Rumah-rumah mempunyai beberapa tingkat, ruangan yang luas, lantai-lantai yang berubin serta suatu sistem pengeringan yang menakjubkan. Kehidupan menjadi mewah dengan berkembangnya seni hias emas dan perak, serta cita rasa seni tampak pada dekorasi fresko pada interior, mebel, keramik dan benda-benda lain yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Kreta menggemari olah raga atletik seperti lomba lari, tinju dan tari. Tampaknya wanita mendapat perlakuan yang sama dengan pria. Agama mereka berupa pemujaan kepada seorang dewi kesuburan yang dipuja sebagai sumber kebaikan dan kejahatan.

Teori Runtuhnya Peradaban Kreta[4]
Letusan gunung berapi di pulau Thera (kini Santorini terletak sekitar 100 km dari Kreta) terjadi pada periode Minoa Akhir. Letusan ini merupakan salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah peradaban manusia, melontarkan sekitar 60 km3 material dan terukur skala 6 pada Volcanic Explosivity Index. Letusan ini meluluh-lantakkan permukiman Minoa didekatnya di Akrotiri di pulau Santorini, yang terkubur batu apung. Diduga letusan hebat yang berdampak kepada runtuhnya peradaban Minoa ini merupakan dasar peristiwa yang mengilhami mitos Atlantis, legenda yang sampai ke Yunani melalui perantara catatan Mesir.

Lebih lanjut dipercaya bahwa letusan ini berdampak parah bagi kebudayaan Minoa, meskipun sejauh mana dampaknya masih diperdebatkan. Teori mengajukan bahwa guguran hujan abu dari Thera telah mematikan tanaman di separuh sebelah timur pulau Kreta, menyebabkan bencana kelaparan yang menimpa penduduk setempat. Akan tetapi setelah penelitian lebih lanjut, teori kurang dapat dipercaya karena lapisan endapan debu vulkanik di Kreta tidak lebih dari 5 mm(0.20 in). Penelitian mutakhir menunjukan, berdasarkan bukti arkeologi di Kreta, bahwa tsunami besar yang ditimbulkan oleh letusan gunung Thera, menyapu kawasan pesisir Kreta dan menghancurkan permukiman di tepi pantai. 

Temuan Minoa yang signifikan di atas lapisan abu vulkanik Thera, menunjukkan bahwa letusan Thera tidak serta merta meruntuhkan peradaban Minoa. Karena bangsa Minoa adalah bangsa pelaut yang bergantung pada armada kapal dagangnya, letusan Thera menyebabkan kesulitan bagi Minoa. Apakah dampak ini cukup untuk memicu keruntuhan peradaban ini, masih tetap diperdebatkan. Penaklukan bangsa Mikenai atas bangsa Minoa terjadi pada kurun Minoa Akhir II. Bangsa Mikena adalah peradaban berlandaskan militer. Tak lama setelah letusan gunung berapi, arkeolog menduga bahwa letusan ini menimbulkan krisis atas peradaban Minoa yang memungkinkan bangsa Mikenai menaklukkan mereka dengan mudah.

Sinclair Hood menulis bahwa kehancuran minoa sangat mungkin akibat serbuan bangsa asing dari luar. Meskipun perkembangan peradaban ini terhenti akibat bencana alam letusan gunung berapi Thera, pukulan paling berat datang dari penakluk asing. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerusakan situs si pulau ini paling banyak karena kebakaran. Hood mencatat bahwa istana Knossos paling utuh tersisa dan paling sedikit kerusakannya dibandingkan situs lain di pulau Kreta. Karena bencana alam tidak memilih-milih sasaran, maka sangat mungkin kehancuran peradaban Minoa adalah akibat serbuan pihak asing, karena penakluk asing ini kemungkinan menggunakan istana Knossos. Sekitar 1420 SM, pulau Thera ditaklukkan oleh Mycenaean. Setelah ini, sebagian besar kota Crete dan kerajaannya mengalami kemunduran. Tapi Knossos tetap berlanjut hingga 1200 SM. Ada bukti bahwa perdagangan runtuh, dan penduduk kota-kota di peradaban kuno Minoan mati karena kelaparan. Pasokan gandum Minoans menipis yang diyakini berasal dari peternakan di tepi Laut Hitam. Banyak sejarawan percaya bahwa pusat perdagangan kuno saat itu berada dalam masa kritis dari perdagangan yang tidak ekonomis, makanan dan kebutuhan pokok yang bernilai tinggi dan dan dianggap barang mewah. Salah satu teori runtuhnya peradaban kuno Minoan menyatakan adanya peningkatan penggunaan alat-alat besi oleh pedagang Minoan.

Beberapa penulis lain menyebutkan bahwa peradaban Minoa telah berkembang melebihi batas daya dukung lingkungannya. Misalnya bukti arkeologi di Knossos menunjukkan telah terjadinya penebangan dan kerusakan ekosistem hutan.


Daftar Pustaka:
Djaja, Wahjudi. 2012. Sejarah Eropa (Dari Eropa Kuno hingga Eropa Modern). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Noname. Tanpa tahun. The Rise and Fall of
Civilization. http://faculty.citadel.edu/frank.karpiel/class04riseandfall.pdf, diakses 22 Februari 2014.
Mackanzie, D. A., 1917. Myths Of Crete & Pre-Hellenic Europe. London: The Gresham Publishing Company Limited
Sumobroto, Sugihardjo., & Budiawan. 1989. Sejarah Peradaban Barat Klasik dari Prasejarah hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty.



[1] http://www.youtube.com/watch?v=Jz3d5x-MUT4Ancient Minoan Civilization, diakses 18 Februari 2014.
[2] Labyrinth (labirin) berasal dari kata labrys yang berarti mudah tersesat.
[3] Epos Yunani dalam bentuk puisi yang menceritakan tentang kemarahan pahlawan yang bernama Achilles selama pengepungan kota Troya dalam Perang Troya.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Minoa, diakses 18 Februari 2014.

B.    Neo Evolusi
Gagasan dari neo evolusi hampir sama dengan teori modernisasi. Neo evolusi menggunakan konteks histori dalam membedah masyarakat tradisional dan modern, teori ini menyatakan masyarakat modern lambat laun akan terjadi dari tahap tradisional melalui proses diferensisasi sosial. Misalnya dalam masyarakat tradisional fungsi ekonomi, politik, dan pendidikan dijalankan dibawah satu intstitusi saja, sedangkan dalam masyarakat modern antara struktur  sosial dan organisasi harus dipisahkan untuk menjalankan fungsi politik, ekonomi, dan pendidikan. Secara singkatnya, masyarakat mengubah struktur masyarakat sederhana menjadi lebih kompleks dengan adanya stratifikasi kerja. Disebut neo evolusionisme dikarenakan teori ini menentang pandangan teori evolusionisme yang menyatakan bahwa masyarakat tradisional akan berkembang dengan satu arah (unilinear) menuju masyarakat modern. Para ahli neo evolusionisme beranggapan banyak jalur yang dapat ditempuh untuk menuju masyarakat modern seperti jalan kapitalis melalui demokrasi plural yang terjadi di Amerika Serikat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an teori-teori fungsionalis seperti modernisasi dan neo evolusionisme sangat dominan.
Evolusi harus dikaji secara ilmiah ketimbang secara spekulatif dengan memperhatikan semua kritik terhadap evolusionisme klasik dan semua temuan sosial terbaru, termasuk temuan sosiologi sendiri. Keyakinan ini membuat neo evolusionisme meninggalkan evolusionisme. Pergeserannya adalah sebagai berikut:
1.    Pusat perhatian bergeser dari evolusi masyarakat global sebagai satu kesatuan ke proses yang muncul dalam kesatuan sosial yang lebih terbatas seperti peradaban, kultur kesatuan masyarakat yang terpisah seperti suku, Negara, bangsa, dan sebagainya.
2.     Sasaran perhatian utama adalah mekanisme penyebab evolusi ketimbang rentetan tahap perkembangan yang mesti dilalui. Dengan kata lain, yang hendak di cari adalah “penjelasan”, bukan skema tipologi.
3.   Analisis evolusi dirumuskan secara deskriptif, kategoris menghindarkan penilaian dan isyarat tentang kemajuan. “Bagi teoritisi neo evolusionisme, evolusi sosio-kultural berarti jauh lebih terbatas, tak mengandung pertimbangan moral”.
4.      Proporsi diungkap dalam peluang ketimbang secara pasti.
5.    Terjadi penggabungan bertahap gagasan dari cabang evolusionisme lain seperti evolusionisme biologis yang telah berkembang luas dan bebas yang menghasilkan banyak temuan dalam ilmu biologi.

Aliran Evolusi
Terdapat empat aliran mengenai evolusi yaitu :

1. Evolusi Unilinear

Aliran ini mengemukakan bahwa kebudayaan akan berkembang melalui tahap-tahap tertentu, bermula dari yang sederhana, kemudian bentuk yang kompleks, dan akhirnya pada bentuk sempurna. Perkembangan ini dilalui dan seharusnya dilalui oleh semua kebudayaan di dunia. Dengan demikian, evolusi kebudayaan ini seolah-olah melewati satu garis evolusi yang sama, maka proses evolusi ini disebut dengan istilah unilinier (Uni berarti satu linier berarti garis). Contohnya evolusi hukum menurut Herbert Spencer, yaitu (1) Hukum keramat; (2) Hukum sekuler; (3) Hukum kerajaan; dan (4) Hukum berdasarkan azas saling membutuhkan.

2. Evolusi Universal

Teori ini menyatakan bahwa evolusi kebudayaan yang merupakan kebudayaan umat manusia sebagai totalitas atau universal. Penganut aliran evolusi ini berfokus pada kebudayaan material dan berpendapat bahwa kebudayaan umat manusia sebagai satu kesatuan (culture as a whole) berkembang maju.

Menurut Lislie A. White (1949), setiap kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sostem thermodinamis, yaitu sistem yang melakukan transformasi energi. Dengan energi sebagai tolok ukur, maka tingkat evolusi kebudayaan dapat ditentukan secara kuantitatif. Ukuran ini juga bersifat universal, sehingga dapat dikatakan obyektif. Dengan kriteria energi White kemudian White melontarkan sebuah hukum evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. C adalah Culture, E adalah Energy dan T adalah Technology. Artinya, evolusi kebudayaan merupakan perubahan sebuah sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi (1949: 368). Karena White berbicara tentang kebudayaan dalam arti umum dan kriteria yang digunakannya dapat digunakannya dapat digunakan secara universal.

3. Evolusi Multilinear

Teori ini lebih menekankan pada evolusi aneka warna kebudayaan-kebudayaan khusus yang berlangsung sendiri-sendiri, tetapi ada unsur-unsur persamaan tertentu dalam proses evolusi yang berwarna itu. Proses evolusi yang berbeda-beda dan adanya unsur-unsur yang sama itu disebabkan karena kondisi tertentu yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan.

Great Basin Indians
Menurut Julian J. Steward, berdasarkan hasil penelitiannya di satu suku bangsa Indian di Amerika Serikat, Indian Shoshone di kawasan Great basin (1937). Ternyata kebudayaan Indian ini tidak mengalami evolusi, karena telah sesuai (adaptif) dengan lingkungan alamnya. Oleh karena itu, Steward berpendapat bahwa evolusi kebudayaan mempunyai cultural core, yang terdiri dari teknologi dan organisasi kerja. Cultural core atau inti budaya inilah yang menentukan corak adaptasi kebudayaan terhadap lingkungannya (1955). Dengan kata lain, interaksi antara inti kebudayaan dan lingkunganlah yang menentukan arah evolusi dan corak suatu kebudayaan.

4. Evolusi Diferensial

Aliran ini mengemukakan bahwa bahwa semua masyarakat dan juga semua unsur-unsur kebudayaan yang ada pada masyarakat itu mempunyai perkembangan sendiri-sendiri dan akan mencapai suatu tingkat yang berbeda-beda pula sehingga akan dapat dijumpai perbedaan yang mencolok antar masyarakat.

Tari Perang dari Flores
Misalnya pada masyarakat Jawa, unsur kebudayaan kesenian mempunyai perkembangan yang berbeda dengan sistem organisasi sosialnya dan masing-masing unsur budaya tersebut mempunyai perkembangan sendiri-sendiri dan apabila dibandingkan dengan masyarakat Flores maka unsur kebudayaan tersebut telah berkembang dengan cara yang berbeda pula serta mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda.
A.    Evolusi Klasik
Prancis bisa merasa bangga bahwa telah melahirkan anak bangsa seperti Auguste Comte (1798-1857) yang kemudian dikenal sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang masyarakat. Pemikiran Comte tentang perubahan masyarakat tersebut tertuang dalam teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tahap (law of the three stages). Teorinya mengungkapkan bahwa masyarakat mengalami perubahan melalui tiga tahap intelektual. Bahkan menurut Comte, tidak saja masyarakat yang mengalami perubahan melalui tiga tahap intelektual, tetapi juga pada tingkat individu, kelompok, komunitas, dan ilmu pengetahuan. Tahapan tersebut diawali dengan tahap teologis (theologiacl stage), tahap metafisik (metaphysical stage), kemudian tahap positivistik (positivistic stage).  
Sejalan dengan itu, Herbert Spancer (1820- 1903) mengemukakan bahwa evolusi sosial dapat dianalogikan seperti halnya makhluk hidup yang melakukan evolusi menuju tingkat yang lebih tinggi, selalu beradaptasi dengan lingkungan yaitu melalui tahap seleksi alam. Teorinya dikenal juga dengan teori Darwinisme sosial.
Evolusi Sosial Budaya menunjukkan suatu perkembangan kebudayaan dan masyarakat dari tingkat yang sederhana menuju tingkat yang kompleks dan tingkat-tingkat yang tetapi ini dilalui atau seharusnya dilalui oleh semua kebudayaan di dunia seperti dalam evolusi biologi dimana makhluk yang bisa bertahan hidup adalah makhluk yang paling cocok dengan lingkungan alamnya.
Evolusi kebudayaan (cultural evolution) menurut Koentjaraningrat (2002: 227) adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks. Dalam proses evolusi kebudayaan dapat dianalisis secara mikro (microscopic) maupun makro (macroscopic). Proses kebudayaan yang dianalisis secara mikro (mendetail) dapat memberi gambaran mengenai berbagai proses perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secaara macro adalah proses yang terjadi dalam waktu yang panjang. Di dalam ilmu antropologi proses ini hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang terjadi.
Cara pandang evolusionisme yaitu mendeskripsikan unsur-unsur budaya universal dan pola perubahan yang teramati melalui mekanisme perbandingan kebudayaan yang hidup dan berkembang dalam entitas budaya. Untuk dapat melihat pola perubahan budaya dapat melalui metode komparasi (perbandingan), yaitu metode komparasi-sinkronik dan metode komparasi-diakronik.

Rumah Adat Batak Toba
Metode komparasi-sinkronik, peneliti meneliti dua entitas budaya yang berbeda dari satu komunitas yang sama dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh E.M. Burner pada tahun 1958 terhadap kebudayaan Batak Toba pada masyarakat desa dan kota Medan. Hasilnya mayarakat desa dan kota sama-sama kuat memegang tradisi Batak ketika berhadapan dengan budaya lain di kota.
Masyarakat Tikopea Polinesia
Metode komparasi-diakronik, peneliti meneliti suatu kebudayaan dari entitas masyarakat tertentu pada satu waktu lalu dikaji lagi pada beberapa saat kemudian pada entitas yang sama. Seperti penelitian R.Firth pada komunitas Pulau Tikopea Polinesia pada tahun 1929, lalu dilakukan lagi 25 tahun kemudian. Hasilnya ada perubahan signifikan dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan modern. 

Kebudayaan itu telah mengalami proses perkembangan secara bertahap dan berkeseimbangan yang kita konsepkan sebagai evolusi kebudayaan. Evolusi kebudayan ini berlangsung sesuai dengan perkembangan budidaya atau akal pikiran dalam menghadapi tantangan hidup dari waktu atau ke waktu.
Evolusi adalah perkembangan berangsur-angsur secara lambat dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih maju dalam waktu yang relatif lama. Suatu teori/pandangan bahwa segala jenis makhluk hidup yang sekarang ada adalah hasil perkembangan berangsur-angsur dari masa  lampau. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Teori Evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, logika atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan. Rekontruksi memberikan pemahaman tentang sejarah masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi masa depan. Obyek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan manusia.
Kebudayaan dalam perspektif teori Evolusionisme terbagi dalam tiga konsepsi: (1) Kebudayaan sebagai sebuah sistem (cultural system), (2) Kebudayaan sebagai sistem sosial, dan (3) Kebudayaan sebagai hasil tingkah laku manusia (material culture).

Industrial Revolution


Pendahuluan
Apakah yang dimaksud dengan teori ? Teori adalah suatu pernyataan, pendapat atau pandangan tentang hakekat (the nature) atau ciri dan keadaan dari suatu kenyataan atau suatu fakta. Kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu.
Konsep kebudayaan sebagai salah satu konstruksi teoritis utama dalam penelitian sosial. Mulai dari definisi kebudayaan yang “klasik” seperti yang berasal dari Tylor, yang melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hukum, moralitas dan adat istiadat,” hingga pendekatan interpretatif Clifford Geertz yang mencoba mempertajam pengertian kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis . . . . dengan bantuan mana manusia mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup” (1973: 89), teori-teori kebudayaan telah memberi berbagai sumbangsih bagi pemahaman kehidupan sosial.
Berdasarkan cakupannya (scope), teori-teori ini dapat dibagi menjadi tiga: yaitu, (1) teori-teori besar (grand theories), (2) teori-teori menengah (middle range theories), dan teori-teori kecil (small theories).

1.      Grand theories adalah data yang kita analisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya tertentu di semua masyarakat atau kebudayaan yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu sehingga teori-teori semacam ini biasanya sangat abstrak. Teori-teori besar dalam ilmu sosial-budaya umumnya merupakan teori-teori mengenai “hakekat” dari kenyataan atau suatu gejala sosial-budaya tertentu, seperti misalnya teori tentang “masyarakat” dari Emile Durkheim, teori tentang “tindakan sosial” dari Talcott Parsons, teori kebudayaan dari E.B.Tylor, teori ke-pribadian dari Sigmund Freud, teori “masyarakat” dari Max Weber, teori tentang “mitos” dari Lévi-Strauss, dan sebagainya
2.      Middle range theories diangap dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya pada sejumlah masyarakat yang relatif sejenis. Teori-teori ini lebih sempit cakupannya daripada teori-teori yang besar, namun di lain pihak juga terasa lebih kongkrit. Misal: teori kebudayaan petani, teori jaringan sosial.
3.  Small theories lebih sempit lagi cakupannya, namun juga paling jelas keterkaitannya dengan realitas empiris. Teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti
Perbedaan antara teori-teori yang besar dan yang menengah atau kecil di sini umumnya adalah pada cakupan dari teori-teori tersebut, dan ini biasanya terlihat dari banyak sedikitnya data empiris yang digunakan untuk mendukung atau menguatkan teori yang dikemukakan.
Setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar --dalam arti menggunakan konsep-konsep yang jelas, metode yang tepat, analisis yang tepat-- pada dasarnya pasti akan menghasilkan suatu kesimpulan tertentu mengenai suatu kenyataan empiris lewat proses berfikir induktif dan deduktif (Toetik Koesbardiati & Tri Joko Sri Haryono, 2007). Sebuah tesis master yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar juga akan dapat menghasilkan teori tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan teori tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cakupan dari teori yang ada dalam sebuah disertasi. Setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat menghasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada atau menumbangkan dasar teori lama.


Fungsi teori
  1. Menyimpulkan generalisasi dari fakta-fakta hasil penelitian
  2. Memberikan kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian
  3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi
  4. Mengisi kekosongan dalam ilmu pengetahuan tentang gejala yang telah atau sedang terjadi

 Unsur-unsur pokok teori:
  1. Asumsi-asumsi dasar
  2. Model-model
  3. Konsep-konsep
  4. Metode-metode penelitian
  5. Metode-metode analisis
  6. Hasil-hasil analisis
  7. Masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan


Referensi
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Toetik Koesbardiati & Tri Joko Sri Haryono. 2007. Teori-Teori Kebudayaan
Unsur-Unsur Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (2002: 203), dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam unsur-unsur besar yang disebut unsur-unsur kebudayaan universal. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2002: 203-204), menemukan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu:
1.      Bahasa
2.      Sistem pengetahuan
3.      Organisasi sosial
4.      Sistem peralatan hidup dan teknologi
5.      Sistem mata pencaharian hidup
6.      Sistem religi
7.      Kesenian
Masing-masing unsur kebudayaan universal ini pasti menjelma dalam ketiga wujud budaya tersebut di atas, yaitu wujud sistem budaya, sistem sosial, dan unsur budaya fisik.
Dengan demikian sistem ekonomi misalnya, mempunyai wujud sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga mempunyai wujud berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen, pedagang dan konsumen. Selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan dan benda-benda ekonomi. Demikian pula sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa, dan roh halus, tetapi mempunyai wujud sebagai benda-benda religius.
Perlu dimengerti bahwa unsur-unsur kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak berdiri sendiri lepas dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan bukan juga sekedar merupakan jumlah dari unsur-unsurnya saja, melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan erat (terintegrasi), yang membentuk kesatuan yang harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbal balik. Apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan perubahan pada unsur yang lain pula (Joko Tri Prasetya, dkk., 1991: 33-34).

Contoh
Upacara Adat Seren Taun di Komplek Paseban, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat

Modernisasi di bidang pertanian dengan penggunaan alat-alat mesin (mekanisasi), akan membawa perubahan dalam masyarakat desa. Alat mesin pertanian akan mengganti peranan hewan lembu dan alat-alat tradisional seperti bajak, pacul, sabit. Disamping itu juga bisa menghambat sikap gotong-royong dan menghilangkan berbagai macam upacara tradisional, misalnya sedekah bumi kepada Dewi Sri Pohaci (Dewi Padi), ruwatan (bersih desa), slametan (selamatan), dan sebagainya. Perubahan tenaga ini, dapat meningkatkan pengangguran dan kerawanan sosial.


Referensi :
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Helius Syamsudin. 1986. Sejarah Dunia. Jakarta: UT.
Joko Tri Prasetya, dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Wikipedia. Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses 2 Februari 2014.

Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora (dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006: 25), yaitu :
a.       Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
b.      Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
c.       Lembaga sosial
Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier.
d.      Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
e.       Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah-buahan, sebagai simbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
f.       Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.