Stonehenge, English Heritage
Prehistory

Who are we? Where do we come from? Where are we going? These are three of the most universal questions. They are about time and the nature of the human condition.

Siapakah kita? Dari mana kita berasal? Dimana kita akan pergi? Ini adalah tiga pertanyaan yang paling umum. Yaitu tentang waktu dan kondisi dari sifat manusia.

Works of art help us to answer these questions. We will begin our exploration of the arts by going back in time to early periods of human history, before the existence of written documents, which we call prehistory. But the term prehistory is a misnomer because objects and images are actually historical records. The challenge lies in discovering how to read them.

Karya seni membantu kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kita akan mulai dari eksplorasi seni dengan kembali pada waktu periode awal sejarah manusia, sebelum adanya dokumen tertulis, yang kita sebut prasejarah. Tapi prasejarah menjadi sebuah ironi karena kurangnya pemahaman objek dan gambar mengenai catatan sejarah. Tantangannya terletak pada menemukan cara untuk membacanya.

The appearance of anatomically modern humans in Europe about 35,000 bce was accompanied by major changes in culture and technology. There was a further period of significant change after the last major Pleistocene glaciation (the Pleistocene Epoch occurred from about 2,600,000 to 11,700 years ago), which included the widespread adoption of farming and the establishment of permanent settlements from the 7th millennium bce. These laid the foundation for all future developments of European civilization (Jacques Barzun, 2013)[1].

Munculnya manusia modern secara anatomis di Eropa sekitar 35.000 SM bersamaan dengan perubahan besar dalam budaya dan teknologi. Ada jangka waktu perubahan signifikan setelah akhir masa Pleistosin (Pleistocene Epoch terjadi dari sekitar 2.600.000 sampai 11.700 tahun yang lalu), yang termasuk adopsi pertanian dan pembentukan pemukiman permanen dari milenium ke-7 SM. Ini menjadi dasar semua perkembangan masa depan peradaban Eropa (Jacques Barzun, 2013).

The Stone Age


Stone Age Scene With Hunters - Illustrations
To organize the vast time span of prehistory, scholars divide the Stone Age in Europe into three periods. Paleolithic (from the Greek palaios, meaning “old,” and lithos, meaning “stone”) is the earliest and the longest. It lasted from c. 1,500,000 B.C. to c. 8000 B.C. The Mesolithic (“middle stone”) period extended from around 8000 to 6000 B.C. in southeastern Europe and c. 8000 to c. 4000 B.C. in the rest of Europe. The Neolithic (“new stone”) period dates from c. 6000/4000 B.C. to c. 2000 B.C. and continued for another thousand years in Europe. The designation of these periods as Stone Age derives from the use of stone tools and weapons. As technology developed, metal would eventually replace stone for many purposes. Then, as now, technological and social change went hand in hand, bringing the Stone Age to a gradual close.

Untuk mengatur rentang waktu prasejarah yang panjang, sejarawan membagi Zaman Batu di Eropa menjadi tiga periode. Paleolithikum (dari kata palaios bahasa Yunani, yang berarti "tua," dan lithos, yang berarti "batu") adalah masa paling awal dan terlama. Paleolithikum berlangsung dari 1.500.000 SM - 8000 SM. Mesolithikum ("Batu tengah") periode diperpanjang dari sekitar 8000 sampai 6000 SM di Eropa Tenggara dan c. 8000 sampai 4000 SM di seluruh Eropa. Neolithikum ("Batu Baru") periode berasal dari 6000/4000 SM 2000 SM dan berlangsung selama seribu tahun di Eropa. Penunjukan periode Zaman Batu ini bersumber dari penggunaan alat-alat dan senjata yang terbuat dari batu. Perkembangan teknologi, pada akhirnya logam menggantikan batu untuk berbagai tujuan. Lalu, seperti sekarang, teknologi dan perubahan sosial beriringan, membawa Zaman Batu ke tahap berikutnya.

Paleolithic (c. 1,500,000–c. 8000 B.C.)

By around 50,000 B.C. in Europe, our own subspecies, Homo sapiens sapiens (literally “wise wise man”), had supplanted Homo sapiens, who had developed complex cultures. We can gain some understanding of Paleolithic society by interpreting the physical record. But becauseideas cannot be fossilized, there is much that will never be known.

Sekitar 50.000 SM di Eropa, subspesies kita sendiri, Homo sapiens sapiens (yaitu "orang bijak bijaksana"), telah digantikan Homo sapiens, yang telah mengembangkan budaya yang kompleks. Kita bisa mendapatkan beberapa pemahaman masyarakat Paleolithikum dengan menafsirkan catatan fisik. Tapi karena pemikiran tidak dapat membatu, ada banyak hal yang tidak akan pernah diketahui.

Inferences about Paleolithic religion have been drawn from ritual burial practices. Red ocher—possibly symbolizing blood—was sprinkled on corpses, and objects of personal adornment (such as necklaces) were buried with them. Bodies were arranged in the fetal position, often oriented toward the rising sun, which must have seemed reborn with each new day. Such practices suggest belief in life after death and offer some insight into the way Paleolithic people answered the third question posed at the start of this chapter: Where are we going?

Kesimpulan tentang kepercayaan masa Paleolithikum mengenai ritual penguburan. Red ocher -mungkin melambangkan darah- memercik ke mayat, dan barang miliknya perhiasan (seperti kalung) dikuburkan dengan mayatnya. Mayat diatur dalam posisi janin, sering berorientasi pada matahari terbit, harus tampak terlahir kembali di setiap hari baru. Praktek-praktek seperti ini menunjukkan keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian dan memberikan jawaban tentang cara orang Paleolithikum menjawab Pertanyaan ketiga yang diajukan pada awal bab ini: Kemana kita akan pergi?

Fire 
Paleolithic people were nomadic hunters and gatherers, who lived communally. They built shelters at cave entrances, under rocky overhangs. Their tents were made of animal skins and their huts of mud, plant fibers, stone, and bone. Fire had been in use for some 600,000 years, and there is evidence of hearths in Paleolithic homes.

Orang Paleolithik adalah pemburu dan pengumpul nomaden, yang hidup secara komunal. Mereka membangun tempat penampungan di pintu masuk gua, di bawah overhang berbatu. Tenda mereka dibuat dari kulit binatang dan gubuk-gubuk mereka terdiri dari lumpur, serat tanaman, batu, dan tulang. Api telah digunakan sekitar 600.000 tahun, dengan bukti dari tungku di rumah Paleolitik.

Although the invention of writing was still far off, people made symbolic marks on hard surfaces, such as bone and stone, possibly to keep track of time. The sophistication of Paleolithic art suggests that language —the ability to communicate with words and tell stories— had also been developed, and language in itself requires a sense of sequence and time.

Meskipun penemuan tulisan itu masih jauh, orang membuat tanda simbolis pada permukaan keras, seperti tulang dan batu, mungkin untuk melacak waktu. Kecanggihan seni Paleolitik menunjukkan bahwa bahasa -kemampuan untuk berkomunikasi dengan kata-kata dan cerita- juga telah dikembangkan, dan bahasa itu sendiri membutuhkan selera urutan jenis dan waktu.

The earliest surviving works of Western art correspond roughly to the final stages of the Ice Age in Europe and date back to about 30,000 B.C. Before that time, objects were made primarily for utilitarian purposes, although many have aesthetic qualities. It is important to remember, however, that our modern Western concept of “art” would almost certainly have been alien in the Stone Age, when an object’s aesthetic value was inseparable from its function.

Karya-karya yang masih bertahan paling awal seni Barat sesuai kira-kira pada akhir Zaman Es di Eropa yaitu sekitar 30.000 SM. Sebelum waktu itu, benda-benda yang dibuat terutama untuk suatu tujuan, juga banyak memiliki kualitas keindahan. Hal ini penting untuk diingat, bagaimanapun, bahwa konsep modern Barat mengenai "seni" akan hampir pasti hasil alien di Zaman Batu, ketika nilai keindahan suatu objek tidak dapat dipisahkan dari fungsinya.





[1] Jacques Barzun. 2013. History of Europe. http://www.britannica.com/, diakses 10 Januari 2014.